[ONESHOT-SONGFIC] Precious Night


cover precious night copy

Precious Night

Inspired by a song lyrics, Joy (Red Velvet) – Fox (OST The Liar and His Lover)

“Rain which plans our meeting,”

Park Sooyoung (Red Velvet) X Park Chanyeol (EXO)

Oneshot; 2500 | Songfic, Fluff, Sad, lil’ bit Romance | Suggested for Teens

—ChocoYeppeo Presents—

Aku ingin mengenalmu. Apakah waktu mengizinkan? Aku ingin bernyanyi bersamamu. Apakah angin membolehkan? Aku ingin bahagia denganmu. Apakah Tuhan mengabulkan?

—o0o—

 .

Hanya hujan kesedihan yang jatuh di luar jendela

Aku merasa sangat sedih

karena aku tidak dapat melihatmu lagi

 .

Aku memandang nanar ke luar jendela, memerhatikan kelamnya keadaan di luar sana. Suara tetesan air yang turun dari langit telah memenuhi suasana malam sejak tadi diiringi gemericiknya saat menabrak tanah yang mulai berlumpur.

Kualihkan kegiatanku yang belum juga selesai dan kubiarkan setengah rambutku belum mengering. Aku merapikan meja rias yang sejak tadi berserakan di depanku kemudian aku melangkah perlahan mendekati jendela. Aku membukanya lalu duduk di daun jendela sembari memejamkan mataku dan menyandarkan tubuh.

Seuntai memori terekam dalam mata tertutupku mengenai suatu hal beberapa jam lalu. Kejadian yang mungkin semacam kebetulan dan tak akan ada artinya—terkecuali bagiku. Bibirku tersenyum tipis mengingat hal-hal indah itu.

Air mataku menetes dengan sendirinya membasahi salah satu pipiku. Segera kubuka mata lalu menghapus air bening itu. Perasaan pilu sepertinya mendadak muncul dari lubuk hati ini. Aku mengamati keadaan di balik jendela, hujan deras. Hujan itu bak sesuatu yang melukiskan perasaanku saat ini.

Aku membuang napas sejenak di dekat jendela. Kutuliskan sesuatu di sana yang jelas-jelas akan hilang dalam beberapa saat. Aku merindukanmu. Belum sampai seminggu atau bahkan sehari sejak aku melihatmu, namun aku merindukanmu.

Gambar ‘love’ kecil kutambahkan di akhir kalimat pendek itu yang merupakan perlambangan rasaku padanya. Aku mengambil ponselku yang kutaruh di meja belajar dekatku kemudian mengambil gambar dari apa yang telah kutulis barusan.

Aku mengulum senyuman kembali memandangi gambar di ponselku itu. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi tadi tanpa ada yang terlewatkan satu hal saja. Aku tak ingin momen itu sirna tiba-tiba. Bagiku, waktu itu sungguh berarti, entah apa yang dipikirkannya sama denganku atau tidak.

Waktu itu adalah pertama kalinya aku dapat tersenyum dan tertawa lepas di samping seorang lelaki. Biasanya aku sangat menutup diriku seakan aku kehilangan kunci yang dapat membuka diriku.

Lelaki pertama yang menarik perhatianku adalah orang itu yang bahkan namanya saja aku tidak tahu—atau belum tahu. Yang jelas, parasnya begitu manis ditambah lagi terdapat lesung pipit di kedua sisi wajahnya. Saat ia tersenyum, aku tak tahu mengapa darahku berdesir amat sangat cepat tidak seperti biasanya.

Mataku hanya ingin menatapnya bahkan hingga detik ini. Impian itu tak akan pernah terpenuhi sekuat apapun aku mengharapkannya. Memikirkan soal itu, lagi-lagi air jernih itu kembali menganak sungai di wajahku dan aku tak dapat menahannya lagi. Menangis dalam diam, betapa sesaknya itu.

Aku memerhatikan keadaan luar kembali dengan tanganku yang terulur melebihi jendela hingga air hujan  membasahinya. Aku memainkannya perlahan dengan pikiran itu yang tak juga berhenti minimal untuk malam ini. Tetesan-tetesan hujan yang bertemu dengan cahaya lampu membuatku semakin memikirkannya. Matanya yang indah tampak berkilau bagai air tersorot cahaya putih.

.

—Hari saat kita pertama bertemu, itu dalam hujan

Kita berjalan dan berjalan meski tanpa payung

Matamu berkilauan—

.

Seorang gadis keluar dari sebuah minimarket membawa belanjaannya yang cukup banyak. Semangatnya meluntur mendapati titik-titik hujan yang mulai turun dari langit membasahi semua tempat yang tertangkap penglihatan gadis itu.

Sooyoung namanya. Gadis sekolahan yang baru saja selesai membeli persediaan makanan ringan untuk beberapa hari berikutnya.

Bibirnya mengerucut. Lekas-lekas ia mengikat erat kantong plastik besar berisi makanan ringan itu. Saat ia hendak memulai langkahnya, seorang laki-laki berjaket abu-abu muncul dari arah belakang dan sepertinya ia juga baru saja dari minimarket itu. Ia berdiri sejajar dengan Sooyong. Laki-laki itu menaikkan tudung jaketnya dan sesaat melirik ke arah Sooyoung. Sooyoung yang juga kebetulan sedang memperhatikan laki-laki itu tersenyum membalas senyuman orang di sebelahnya.

“Tidak bawa payung?” sapa laki-laki itu—lebih tepatnya bertanya sebelum pergi dari tempat itu.

“Tidak, kukira tidak akan hujan,” respon gadis itu disertai senyuman lebarnya.

“Kukira juga begitu. Bintang-bintang berkelip di langit yang tidak mendung sama sekali,” sahut laki-laki itu.

Sooyong melihat orang di sampingnya itu menoleh kesana-kemari seolah mencari sesuatu, “Tempat ini tidak menjual payung,” ujarnya sembari melepas jaketnya kemudian meletakkannya di atas kepalanya dan juga kepala Sooyoung.

Sooyoung yang sedikit terkejut dengan hal itu hampir terlonjak, namun ia segera mensterilkan dirinya. Wajahnya berputar sedikit, menemukan wajah laki-laki itu yang terlalu dekat dengannya. Bahkan, ketika wajah mereka bertemu, hembusan napas laki-laki itu menyapa wajah Sooyoung dengan lembut dan hangat.

Sooyoung mengerjapkan matanya menyadari tangan laki-laki itu sedikit menarik tubuhnya membuat keduanya mulai terlibat dalam hujan yang semakin deras. Sooyoung mendekap belanjaannya seerat mungkin mengusahakannya agar tidak basah. Ia menurut begitu saja atas ajakan laki-laki itu untuk berjalan bersama di bawah hujan meskipun tidak secara langsung menanyainya. Keduanya berjalan perlahan tanpa obrolan melalui air yang berlompatan menabrak tanah membasahi kaki masing-masing.

“Kenapa tidak membelinya di siang hari saja?” laki-laki itu membuka percakapan sekadar untuk mengisi suasana di tengah suara hujan yang sudah lazim itu.

“Aku selalu sibuk, tidak punya waktu,” mata Sooyoung tetap terfokus pada jalanan becek di depan langkahnya.

Semuanya kembali penuh dengan suara hujan setelah laki-laki itu mengangguk memahami ucapan Sooyoung. Malam itu trotoar sungguh sepi akibat guyuran hujan. Orang-orang pasti malas sekali jika tubuh mereka basah—kehujanan hanya untuk tujuan kecil mereka di malam itu.

Beberapa menit sesudah itu, guyuran air dari langit tersebut mulai merintik menandakan bahwa langit akan cerah kembali, diberkati oleh cahaya purnama. Laki-laki yang berada di samping Sooyoung mulai membebaskan kepala mereka dari selimutan jaket, merasa hujan tidak sederas tadi.

“Apakah akan baik-baik saja kau hujan-hujanan seperti ini?”

“Oh, tentu saja,” Sooyoung tersenyum tipis sambil mendongak menatap wajah laki-laki di sampingnya yang tengah sibuk melipat jaketnya.

Wajah orang itu berhasil membuat Sooyoung sedikit terlena sampai sebuah senyuman merekah di bibirnya. Cahaya lampu yang menerangi langkah kedua orang itu masuk ke dalam sepasang anak mata laki-laki itu membuatnya berkilauan bagai kepingan permata. Lagi, Sooyoung tersenyum dan refleks tangannya melemah membuat belanjaan yang didekapnya hampir saja jatuh ketika ia segera menyadarinya.

“Apakah itu berat? Perlu bantuan?”

“Tidak, tidak,” Sooyoung tergagap ketika secepat kilat tangan laki-laki itu merampas belanjaannya membuat benda itu berpindah ke jinjingannya, “ah, terimakasih,” kedua sisi wajahnya merona membuatnya menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan wajah tersipu itu.

“Bukankah tidak baik, ya, jika berbicara tanpa memperhatikan lawan bicaranya?” laki-laki itu sedikit membungkuk menyejajarkan tingginya dengan tundukan Sooyoung.

Seketika Sooyoung menaikkan pandangannya membuat laki-laki itu kembali menegak mengikuti gerakan gadis Park itu. Ia tersenyum lebar pada Sooyoung membuatnya tersenyum merasa canggung.

Di kesempatan-kesempatan kecil ketika laki-laki itu sibuk dengan langkahnya, Sooyoung sesekali mendongak memperhatikan wajah orang itu disertai kembangan bibirnya yang begitu tipis hampir tak kentara.

.

—Malam ini, aku ingin memberimu lagu ini

Aku sedang jatuh cinta, hanya denganmu

Walau di sini tak ada yang mendengarkan

lagu ini menyebar dalam hujan—

 .

Aku memejamkan mataku kembali, masih dengan tanganku yang memainkan air hujan di balik jendela. Serentetan kalimat-kalimat pilu seakan berputar-putar di kepalaku membuatku ingin meledakkannya sesaat.

Aku mendengungkan seuntaian nada-nada secara kresendo mengikuti ritme hujan yang jatuh dari ujung atap rumah menabrak tanah. Tes… tes… tes…

Aku tidak mengerti bagaimana dapat menyanyikan sebuah lagu ini, namun ini sungguhan muncul dari perasaanku yang amat dalam kepada orang itu. Mulutku berkomat-kamit kecil menyuarakan kalimat-kalimat itu ke dalam sebuah nyanyian. Kupikir ini tidak begitu buruk sehingga aku menyalakan kembali ponselku lalu merekam suaraku sendiri.

Pertama kalinya aku dapat menciptakan lagu dengan inspirasi kehidupan pribadiku. Aku menyanyikannya semampuku diikuti sebuah rekaman kejadian yang terputar dalam ingatanku tentang waktu itu. Bibirku memaksa untuk tersenyum meski hatiku tak menginginkannya.

Aku masih mengingat benar ketika tangan kami nyaris bergandengan tatkala kami berjalan begitu dekat. Langkahku yang saling mengejar dengan langkahnya membuat tangan kami bersentuhan beberapa kali.

Debaran jantungku yang sangat tidak normal, aku menyadarinya. Sesekali aku menarik napas panjang seraya memegang dadaku, memintanya untuk lebih tenang.

Hujan, dapatkah kau sampaikan ungkapan perasaanku ini kepadanya? Kuteruskan nyanyiku sesuai dengan apa yang terngiang dalam otak. Sedikit keheranan muncul ketika aku menyadari hujan itu tak kunjung selesai, padahal tak ada suara guntur atau kilatan cahaya di langit sekalipun. Apakah Tuhan memang menurunkan hujan ini sebagai cerminan perasaanku?

Sesaat aku melirik ke arah plastik belanjaanku yang tadi kubeli dan belum sempat kumasukkan ke lemari pendingin. Aku tersenyum mengingat kejadian ketika ia merebut belanjaanku sambil mengatakan jika itu terlalu banyak untuk dibawa seorang gadis. Tangan kekarnya itu menjinjingkan barang-barangku bahkan setelah ia berbagi jaket denganku.

Tak terlewatkan mataku memperhatikan sebuah jaket yang tergantung di pintu kamar. Aku kembali tersenyum dan selanjutnya menyarahkan salah satu tanganku ke sana. Aku menggerakkannya seolah ingin menggapainya lebih.

Sebelumnya, aku belum pernah mengalami hal serupa sehingga membuatku sedikit tersipu apalagi ia adalah lawan jenis. Sejak waktu itu aku mulai menyadari jika, “Aku menyukaimu, jatuh cinta kepadamu,” untuk ke sekian kali aku tersenyum sambil menggumamkan kalimat itu.

Aku turun dari daun jendela itu dan melangkah menuju kantong plastik itu. Sejenak aku merabanya seakan itu adalah bukti bisu kejadian tadi. Aku memindahkannya ke meja kecil di samping tempat tidurku. Kubaringkan tubuhku di ranjang sederhana itu sembari menatap jaket model pria tanpa corak mencolok itu.

Suara hujan itu masih menghiasi malamku dengan suara kerikan jangkrik yang memang sudah tugasnya untuk bernyanyi di malam hari. Obsidianku memandang cepat jam weker di meja kecilku. Aku tak bisa tidur padahal ini sudah cukup larut. Mataku benar-benar cerah, hanya sedikit merah karena tangisku tadi.

Merasa bosan, aku sesekali menyanyikan lagu yang kuciptakan sendiri itu. Sekali bernyanyi, aku tidak tahu apa alasanku dapat langsung menghafalnya. Aku tersenyum dengan mata terpejam, berharap pada Tuhan agar Ia menyampaikan perasaanku pada laki-laki itu.

.

—Aku memanggil namamu

tapi aku tahu itu tak akan menjangkaumu

Setelah tidak tidur semalaman

fajar datang melalui hujan— 

 .

Sesaat kemudian aku bangkit dari baring lalu mengambil sebuah buku merah bata kecil dari laci meja. Catatan usang yang masih kujaga meskipun umurnya sudah lebih dari sepuluh tahun. Hanya hal-hal mengesankan yang akan tercatat dalam sana.

Di halaman pertama buku itu tertuliskan ‘Hadiah ulang tahun ke-7 untuk Sooyoung’ yang aku tulis sendiri pada usia itu. Tulisan yang terlihat tidak rapi sebagaimana anak-anak pada umumnya. Di sudut bawah tertempel pita merah muda yang merupakan warna favoritku.

Tidak banyak lembaran di buku itu yang telah terisi. Belum lebih dari setengah bagian buku kecil itu. Sesekali aku bernostalgia dengan tulisan-tulisan di sana yang bahkan mungkin beberapa bagian sudah tak kuingat lagi.

Aku tersenyum sambil menengkurapkan tubuhku dan membuka beberapa lembar kertas di buku itu tanpa membacanya. Aku menghentikan gerakanku di halaman kosong. Pena yang terselip di sana aku gunakan untuk menuliskan sesuatu. Hal indah yang berikutnya yang tak dapat kulupakan. Pengalaman jatuh cinta untuk yang pertama kalinya di usia yang manis ini.

6 Mei 2017

Hari ini hujan turun dengan deras dan begitu lama. Terdapat hal manis di tengah waktu itu, tetapi berlalu dengan sangat cepat.

Hai, kau. Apakah kau juga sepertiku? Harapan yang besar ini mungkin akan segera pupus mengetahui kenyataan yang terjadi. Jika kau mungkin tak pernah mengingatku lebih.

Awalnya aku tidak menyadarinya karena kau hanya menemaniku menembus hujan. Setelah beberapa hal terjadi seiring langkah kaki kita di tengah hujan, aku sadar jika perasaan yang berbeda mulai tumbuh. Aku jatuh cinta padamu.

Bodohnya aku tak menanyai apapun tentangmu. Aku hanya dapat menjawab apapun yang kau mulai duluan. Aku menyesal karena aku mungkin tidak akan pernah melihatmu lagi.

Kuharap akan ada bintang jatuh malam ini dan aku dapat membuat permohonan padanya. Aku hanya menginginkan satu hal, pertemukan aku dengan dirimu lagi. Aku ingin mengenalmu. Apakah waktu mengizinkan? Aku ingin bernyanyi bersamamu. Apakah angin membolehkan? Aku ingin bahagia denganmu. Apakah Tuhan mengabulkan?

“Hei! Aku menyukaimu! Apakah kau tahu itu?!” aku berteriak-teriak di kamarku karena kutahu tak akan ada orang lain yang mendengarnya. Selain hampir tengah malam, orang tuaku juga pasti telah terlelap. Mana ada orang normal yang berkeliaran di waktu seperti ini.

“Kau mencuri perasaanku,” ucapku lirih seraya mendekap buku catatan kecilku tadi.

Aku mulai memejamkan mata namun sialnya beberapa menit berlalu dan aku tidak tertidur sama sekali. Aku memasukkan buku itu kembali ke laci dan merebahkan tubuhku di kasur putih yang begitu lembut dan hangat.

Sepertinya mataku belum ingin terlelap. Sepanjang waktu aku hanya bergeming menunggu kantuk menyapa diriku. Mungkinkah aku tidak akan tidur malam ini? Dan hanya karena dirinya?

Satu jam…

Dua jam…

Tiga jam…

Empat jam…

Tubuhku hanya kugulingkan kesana-kemari mencari posisi yang pas dan nyaman. Mataku memandangi luar jendela—yang sejak semalam tak tertutupi oleh tirai klasik di sampingnya. Fajar menyapa indra penglihatanku. Cahaya kemerah-merahannya memenuhi manik mataku yang nampak sayu gara-gara tak beristirahat sama sekali semalaman ini.

Aku beranjak menghadap cermin datar di meja riasku sambil sedikit memanjakan wajahku. Sesaat kemudian aku melirik jam dinding yang sudah jarang kulihat. Baru pukul empat. Ini aneh sekali karena aku lebih sering terbangun dua jam setelah waktu ini.

Aku melangkahkan kaki menuju satu-satunya jendela di kamarku lalu mengambil posisi yang sama seperti semalam. Angin semilir menusuk-nusuk kulitku meski jendela itu tertutup rapat. Hujan masih setia menemaniku meski tak selebat sebelumnya.

 .

—Di satu titik, aku sangat senang karena bertemu denganmu

Aku telah jatuh dalam mimpi itu

Tapi aku tidak tahu aku akan merasakan luka ini—

 .

Tak berselisih lama, rintikan hujan itu tiba-tiba kembali membesar dan membesar membuat malam itu kembali diiringi deras hujan. Dua orang yang tengah berjalan bersama itu sedikit gusar. Laki-laki di samping Sooyoung itu segera memegarkan jaket yang bertengger di bahunya kemudian memasangnya di kepala keduanya.

“Hujan malam ini sungguh menipu,” celetuk laki-laki itu membuat Sooyoung sedikit terkekeh.

“Ya. Datang, pergi, dan sontak datang lagi,” respon Sooyoung sambil tersenyum tawa kepada laki-laki di sampingnya.

Sooyoung merasa sedikit canggung setelah tidak sengaja mengerut di dada laki-laki itu ketika terlihat kilatan di tengah langit yang mengagetkannya. Ia pun memilih untuk diam sepanjang langkahnya kemudian. Senyum tipisnya terlukis di tengah-tengah rasa kikuknya.

Tanpa sepengetahuan Sooyoung, laki-laki itu menyembunyikan kebahagiaannya dalam wajah datarnya yang mempesona. Jantung laki-laki itu mungkin akan copot dari tempatnya jika gadis yang berada di sampingnya itu memeluknya.

“Jika bisa, kita seperti ini saja terus,” gumam Sooyoung membuat laki-laki itu menghentikan langkahnya sejenak untuk fokus pada gadis itu.

“Apa kau bilang?” laki-laki itu menautkan kedua alisnya sambil menurunkan pandangannya pada Sooyoung, “Seperti ini terus?”

Sooyoung terkejut mendengar suara laki-laki itu yang sangat tiba-tiba. Langkahnya ikut terhenti sementara wajahnya menoleh membalas tatapan laki-laki itu. Ia menghentikan kedipan matanya beberapa saat.

Mata Sooyoung meneliti wajah yang ada di depannya dengan rinci. Ia tatap kedua bola mata yang sangat jelas masuk ke netranya. Secara bergantian dengan begitu cepat, mata yang indah itu… hidung yang sempurna… dan…

Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali membuatnya terbebas dari lamunan sesaat tersebut. Ia menjauhkan wajahnya yang secara tidak sadar telah semakin dekat dengan wajah di seberang. Ia menutup mulutnya dan membuang muka.

“Aku tidak mengatakan apapun,” sungutnya sembari memulai langkah kakinya kembali membuat lelaki di sampingnya mau tak mau mengikutinya.

“Oh, ya! Kau pulang ke arah mana? Kanan atau kiri?” ujar laki-laki itu sambil sedikit menggerakkan tangan kanannya yang memegang jaket sekaligus membawa belanjaan Sooyoung.

“Aku ke– ke– kanan. Kalau kau?” Sooyoung menunjuk ke tikungan yang ada di sebelah kirinya beberapa meter lagi.

“Baiklah,” laki-laki itu menghentikan langkahnya diikuti Sooyoung yang melakukan hal serupa dengan ekspresi penuh tanya, “hujan sudah tidak sederas yang tadi. Mari kita berpisah di sini,”

Sooyoung membeku di tempatnya selagi laki-laki di hadapannya merungkupi kepalanya dengan jaket yang mereka gunakan tadi. Laki-laki itu menggapai tangan Sooyoung sambil memberikan belanjaan yang tadi di bawanya kepada si pemilik asli. Sebuah tepukan lembut darinya mendarat di kedua lengan Sooyoung yang begitu dingin.

“Sesampai di rumah, hangatkan dirimu, oke?” lelaki itu tersenyum lebar sambil mengacak puncak kepala gadis itu. Tanpa menunggu respon gadis di depannya, ia melanjutkan kalimatnya, “Senang bisa mengenalmu. Aku pergi dulu. Hati-hati di jalan,”

Si jangkung itu membalikkan tubuhnya dan dengan gesit berlari meninggalkan Sooyoung tanpa menilik ke belakang sekalipun setelah itu. Punggung yang semakin menjauh itu membuat kupu-kupu yang awalnya beterbangan di perut Sooyoung mendadak menghilang entah kemana.

Sooyoung mengeratkan jinjingannya pada barang belanjaannya dengan tangan lainnya meremas perlahan jaket yang kini hinggap di kepalanya itu. Di pelupuk matanya tiba-tiba menggenang air bening yang mendesaknya untuk mengedipkan mata.

Tes…

Air itu terjatuh bersatu dengan genangan air hujan di bawahnya. Sooyoung memejamkan mata dan semakin mengeratkan kedua genggaman tangannya. Saat berikutnya ia mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu yang merupakan tempat terakhir kalinya ia melihat laki-laki itu.

“Mengapa begitu cepat?” ujar Sooyoung dengan suara tertahan. Wajahnya menoleh singkat ke belokan tempat laki-laki itu menghilang dari maniknya.

.

—Saat kau merasakan sedih, pikirkan aku

Itu akan menjadi waktu yang indah untuk cinta kita

Apakah kau tahu bagaimana yang aku rasakan?—

.

[END]

~

Akhirnya FF yang udah kukerjain 10 hari lebih selesai juga dengan ending yang mungkin buat beberapa orang ‘gantung’ :3 wkwkwk… namanya juga oneshot songfic buatanku xD apa sih yang nggak gaje dari chocoyeppeo? :v :v :v

Thanks buat yang udah baca dari awal sampai akhir terutama yang tanpa men-skip samasekali. Dan terutama lagi buat yang udah komen apapun entah kesan dan pesan/? Ataupun saran :”>

Bai de wai Chanyeol nya nggak kesebut sama sekali yak? :3 kkkk~~

Annyeong! Lopyuh reader(s) :*

Satu pemikiran pada “[ONESHOT-SONGFIC] Precious Night

  1. Ping balik: [LIBRARY] Oneshot | ChocoYeppeo

Give me your "Stars"